Minggu, 27 Maret 2011

pembagian hukum taklifi dan wadh'i

Pembagian Macam-Macam Hukum
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi kepada lima bentuk ; Ijab (Kewajiban), Nadb (anjuran untuk melaksanakan/ kesunahan), Tahrim (Keharaman), Karahah ( kemakruhan), Ibahah ( Kebolehan)
Dari sisi ini hukum taklifi, seperti dikemukakan abdul Wahab Khallaf, terbagi kepada lima macam, yaitu : wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Masing masing dari beberapa istilah hukum diatas dijelaskan sebagai berikut.
1) Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd.al Karim Zaidan berarti :
Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. Misalnya shalat fardhu lima waktu dalam satu hari satu malam hukumnya wajib dalam arti mesti dilaksanakan, berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya.
Pembagian Wajib
1. Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, hukum wajib terbagi kepada dua macam :
(1) Wajib mutlaq (tidak dibatasi dengan waktu) adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktu pelaksanaanya. Misalnya, kewajiban untuk membayar puasa ramadhan yang tertinggal, dan seperti denda yang wajib atad orang yang bersumpah kemudian melanggar sumpah.
(2) Wajib Muaqqat yaitu kewajiban yang pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu. Seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan.
2. Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam, yaitu wajib aini(wajib ain) dan wajib kifa’I (wajib kifayah)
(1) Wajib ain
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah balig berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bias gugur kecuali dilakukan sendiri. Seperti shalat,zakat,haji,menepati janji,menjauhi khamer dan judi.
(2) Wajib Kifayah
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Seperti shalat jenazah, membangun rumah sakit, menyelamatkan orang yang tenggelam, menjawab salam, dsb.
3. Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam yaitu wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib mukhayyar (pilihan).
(1) Wajib mu’ayyan
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain . seperti shalat, membayar zakat. Kewajiban seperti ini tidak dianggap terlaksana, kecuali dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan itu.
(2) Wajib mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah.

2) Mandub ( sunnah)
Mandub dari segi bahasa “ sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut istilah, adalah perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Seperto firman Allah :
          
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
Pembagian mandub :
(1) Sunnah Muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan), misalnya : shalat lima waktu dengan berjamaah.
(2) Sunnah ghair al-muakkadah (sunah biasa), sunah yang diajurkanoleh syara’ untuk dikerjakan, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkan tidak disiksa atau dicela. Seperti bersedekah kepada para fakir.
(3) Sunah al-Zawaid. (sunah tambahan) artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf. Diantaranya adalah mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam hal kebiasaan beliau sebagai seorang manusia. Misalnya sopan santunnya dalam makan,minum, dan tidur.
3) Haram
I sushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melarangnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Bentuk larangan itu sendiri menunjukan kepastian, seperti firman Allah swt :
      
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi

Pembagian haram :
1. Al- muharram li Dzatihi, artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan seperti zina :
         
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.


2. Muharram li Ghairihi yaitu haram karena sesuatu yang baru . artinya suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum syara sebagai suatu kewaiban, kesunnahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru menjadikannya haram ; seperti shalat dengan memakai baju gasab, jual beli yang mengandung unsur menipu.


4) Makruh
Makruh berarti “sesuatu yang dibenci”, berarti sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, dimana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila di langgar tidak berdosa. Makruh terbagi menjadi makruk tahrim dan makruh tanzih
5) Mubah
Mubah berarti “ sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan” menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan oleh abdul-karim zaidan berarti :
“ yaitu sesuatu yangb diberi pilih oleh syaariat apakah seorang mukallaf akan melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan d9osa dan pahala.
Pembagian mubah
(1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan
(2) Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu
(3) Sesuatu yang mubah yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.

Pembagian hukum wadh’i ( Hukum Positif)
Hukum wadh’I terbagi menjadi lima. Berdasarkan penelitian hukum wadh’I adakalanya menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan adanya keringanan sebagai ganti dari hukum asal,dan sah atau tidak sah atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “ sesuatu yang biasa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain.
Macam-macam sebab :
a. “ sebab” , kadang kadang menjadi sebab pada hukum Taklifi. Misalnya waktu, yang menjadi ssebab kewajiban mendirikan shalat, karena firman Allah swt :
    
78. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (al-israa : 78)

[865] ayat Ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.


b. Kadang-kadang “ sebab” itu menjadi sebab untuk menetapkan kepemilikan, kehalalan, atau menghilangkan keduanya
c. Kadang-kadang “ sebab” itu berbuatan yang mampu dilakukan mukallaf, seperti pembunuhan secara sengaja menjadi sebab kewajiban qishash.
d. Kadang kadang “ sebab” berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukallaf dan bukan termasuk perbuatan mukallaf

2. Syarat
Syarat berarti “ sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” misalnya : wudlu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu.
Pembagian syarat :
(1) Syarat syar’i yaitu syarat yang datang langsung dari syarat tersendiri.
(2) Syarat Ja’ly yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri
3. Mani’ (penghalang)
mani’ adalah sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Mani’ menurut ulama ushul fiqh adalah sesuatu yang ditemukan stelah terbukti sebabnya dan memenuhi syarat-syaratnya tetapi dapat menghalangi hubungan sebab dan akibat
4. Rukhshah dan azimah
Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebuta.
Sedangkan azimah adalah hukum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf) tertentu.
Macam-macam rukhsah :
1. Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau menurut kebutuhan. Jika ada seseorang yang dipaksa mengucapkan kata-kata kafir, maka ia boleh mengucapkannya dengan tetap tidak senang mengucapkan dan hatinya tetap dalam keadaan iman.
2. Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapar uzur kesulitan menunaikannya
3. Sahnya mengenai akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat umum sebagai sahnya akad tersebut, namun hal itu berlaku dalam muamalah umat manusia dan menjadi kebutuhan mereka
4. Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah swt telah diangkat dari kita. Sedangkan hukum itu adalah termasuk bebab yang berat atas umat sebelum kita. Seperti yang digambarkan oleh Allah swt dalam firmannya :
           
286. "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. (Qs. Al-Baqarah : 286)



Ulama kelompok Hanafi membagi Rukhsah Tafrih adalah pada dasarnya adalah hukum ‘azimah (asal) yang masih berlaku dan dalilnya juga masih ada, tetapi boleh ditinggalkan sebagai keringanan dan menyenangkan mukallaf.
Sedangkan rukhshah isqat (keringanan yang menggugurkan dan yang me nggugurkan) maka hukum ‘azimah tidak berperan lagi. Tetapi keadaan yang menyebabkan adanya keringanan itu menggugurkan hukum ‘azimah dan yang berlaku disana adalah hukum rukhshah.

5. Sah dan Batal.
Semua perbuatan mukallaf yang dituntut oleh syar’i dan semua hukum sebab akibat yang ditetapkanny, bila telah dilakukan oleh mukallaf maka mungkin syar’i akan menganggapnya sah atau batal.
Pengertian sah menurut syara’ adalah perbuatan mukallaf itu mempunyai pengaruh secara syara’
Adapunpengertian tidak sah adalah tidak adanya pengaruh secara syara’ . jika yang dilakukan berupa kewajiban, maka kewajiban itu tidak gugur dan ia tidakb bebas dari tanggungan. Jika berupa sebab syara’ maka tidak mempunyai pengaruh hukum, jika berupa syarat maka yang disyarati belum ditemukan. Hal itu karena syar’I menggantunggkan pengaruh kepada perbuatan, sebab dan sarat yang terpenuhi sebagaimana tuntutan dari syariatnya. Jika tidak demikian maka tidak dianggap menurut syara’

3 komentar:

  1. sekedar usul ada baiknya kalau sebelum di uploud di edit lebih dahulu baik huruf maupun spasinya biar lebih oke

    BalasHapus
  2. usul juga,
    kalo bisa sertakan referensi yang menjadi rujukan dari tulisan anda

    BalasHapus